jump to navigation

Tujuh Tingkatan Nafs (2) Rabu, 16 Mei, 2007

Posted by Quito Riantori in Artikel, Tasawwuf.
trackback

Quito R. Motinggo

NAFS AL-MARDHIYAH [The Pleasing or Harmonious Self)

Setelah melalui diri yang terpuaskan (nafs al-radhiya), maka muncullah kemantapan batin yang sedemikian besar dan kuat yang membawa sang nafs ke tingkat Nafs al-Mardhiyah – Diri Yang Diridhai, yang telah mencapai keharmosian dan keselarasan dengan Semesta Alam, atau dengan kata lain, kemanunggalan sang mikrokosmos dengan makrokosmos.

Jika kita telah terpuaskan dengan setiap kejadian maupun situasi yang terjadi dalam hidup kita, kita akan tersadarkan secara spontan – ketimbang secara analitis – akan kompleksitas dan kesempurnaan yang menyebabkan segala situasi dapat terjadi.

Mungkin saja kita tidak menyukai apa yang kita lihat; kita tiada mengharapkannya; namun akhirnya kita akan melihat kebenaran yang sempurna di dalamnya. Bisa jadi, misalnya, kita sudah memiliki harapan yang pasti atas kemampuan atau prestasi anak-anak kita, lalu yang terjadi justru bukan seperti apa yang kita harapkan sehingga kita pun kecewa. Sekali waktu, kita melihat (sadar) bahwa kita sudah berlebihan dalam mengharapkan sesuatu. Kesadaran kita akan perhitungan kita yang salah ini telah membawa kita ke suatu pengetahuan dan kepuasan. Walaupun begitu, keadaan diri yang tersadarkan dan terpuaskan ini tidak mencegah kita dari bertindak positif untuk meralat suatu situasi, atau dari menilai kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak dari satu sudut pandang yang seimbang.

Untuk mencapai tingkatan (maqam) nafs al-mardhiyah ini, sang nafs yang telah terpuaskan ini akan menghubungkan kesadaran kita dengan seluruh maujud yang ada dalam Alam Semesta ini. Karena jika kita merasa puas (ridha), maka seluruh maujud di alam ini pun bere-aksi atau memantulkan keridhaannya pula kepada kita. Takkan ada lagi jarak bahkan pemisahan antara kita dengan Semesta Alam ini; Kita menjadi “aman” di dalam pengetahuan sehingga kita tidak lagi peduli dengan situasi apa pun yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Dan akhirnya kita akan menuai semua tindakan-tindakan yang telah kita lakukan terhadap manusia maupun alam. 1]

Semua tindakan kita itu merupakan investasi yang akan kita tuai. Sejatinya, orang yang berada pada tingkatan ini adalah orang yang berada dalam keseimbangan yang mantap (complete equilibrium), karena dia benar-benar sadar akan apa yang bakal terjadi pada dirinya dan selalu terhubungkan dengan seluruh maujud di alam ini. Dia juga telah mampu melihat dengan jelas bagaimana dia nanti, dan akhirnya dia akan memperoleh buah (hasil) dari semua tindakannya di dunia ini.

NAFS AL-KAMILAH (The Perfect or Fulfilled Self)

Tingkatan Nafs yang ketujuh dan terakhir ini adalah Nafs Al-Kamilah, Diri Yang Sempurna. Diri yang berada pada suatu kesadaran yang spontan dan terus-menerus. Kesadaran dalam keseimbangan penyatuan, yang meningkatkan diri menuju ke kesadaran sejati (pure consciousness), tetap tersadarkan dan peka akan Realitas Ilahi Yang Kekal. Inilah nafs (diri) yang secara lahiriah bertindak sebagai wakil kebaikan, yang membantu orang lain menuju ke perkembangan yang konstan dan ketentraman dan secara batiniah ditelan oleh Sang Samudra Wujud (The Ocean of Beingness). Ini adalah nafs yang sisi luarnya berjuang dan berkorban, dan sisi batinnya telah terpuaskan oleh cinta yang tanpa batas.

Inilah diri yang telah mencapai kesadaran yang sejati, murni, lengkap, otentik dan total. Arah kita mesti jelas, yaitu ingin merasakan ketakterbatasan dengan fisik yang terbatas ini. Kadang-kadang kita membebani tubuhnya di luar batas kemampuannya. Hal ini dikarenakan kita terus-menerus salah mengarahkannya hingga melampaui batas. Tubuh kita tak habis-habis mengalami hal ini. Kita mesti mempelajari perbedaan yang sulit ini dan menggunakan energi kita sewajarnya.

Sekali waktu kita menyadari suatu spektrum penuh dari berbagai area yang tidak kita ketahui termasuk apa yang kita sebut nafs (diri) dan kita mulai melihat secara spontanitas, penderitaan kita yang mungkin sudah berkurang.

Jika suatu waktu kemarahan muncul dari dalam diri kita, kita melihat bahwa suatu ungkapan kekecewaan telah dibelokkan dari pencapaian hasrat; kemudian kita segera memahami perhitungan kita yang salah, dan kemarahan kita pun surut.

Hal ini tidak berarti bahwa sang pencari atau sang pengembara ruhani tidak pernah mengalami kekecewaan. Dia bahkan bisa jadi sangat kecewa dan marah ketika dia melihat suatu ketidakadilan atau kezaliman terjadi di depan matanya. Kemarahannya ini muncul secara spontanitas dari dalam dirinya sebagai suatu mekanisme yang membawanya ke bentuk tindakan.

Apakah seorang pengembara ruhani akan berdiam diri ketika ia melihat seorang laki-laki sedang memukuli anaknya sendiri? Tentu saja tidak! Seorang pengembara ruhani bukan orang yang masa bodoh atas apa yang terjadi di sekitarnya. Dia tidak akan sungkan-sungkan menegur, memperingati bahkan meneriaki orang-orang zalim karena kezaliman mereka. Sang pengembara ruhani akan terus berpihak kepad kaum yang lemah, yang diinjak-injak hak-hak mereka, mereka ynag terus dibodohi oleh suatu sistem tiran, apakah itu dijalani oleh sekelompok orang atau beberapa kelompok yang bergabung ingin merampas hak-hak orang lemah.

Jika kita tinggal di sebuah lingkungan yang sedang mengalami kemunduran atau kemerosotan moral, maka suatu waktu akan datang kewajiban agama agar kita melakukan tindakan yang tepat dan bijak atau paling tidak menjauhi dan meninggalkan lingkungan seperti itu. Karena komunitas atau lingkungan yang moralnya sudah sedemikian merosot akan segera mengalami kehancuran. Kita tidak dibenarkan membiarkan kezaliman berlaku di depan mata kita. Imam Ali as berkata, ”Pelaku kezaliman, yang membantunya dan yang rela (ridha) dengan perbuatan tersebut, ketiganya bersekutu dalam kezaliman!” (Ihqaaq al-Haq 12 : 432)

Dengan lugas Al-Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, “Pelaku kezaliman (Penindas) dengan orang yang dizalimi (yang ditindas) bak dua mata gunting. Keduanya bekerja sama dalam melakukan penindasan.”

Kebencian kita kepada kemungkaran sudah merupakan bentuk ketidakridhaan kepada kezaliman. Sebagaimana yang dilakukan oleh Luth atas kaumnya yang menganut paham seks bebas : Luth as berkata, ”Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatan kalian! (Lalu Luth berdo’a): “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan. Lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya semua” (QS 26 : 168-170) Ayat ini menjelaskan bahwa ketidakridhaan Nabi Luth as atas perbuatan homoseks kaumnya menyebabkan beliau as beserta keluarganya diselamatkan dari azab Tuhan yang keras. (Bersambung)

Catatan kaki :

1] Inilah yang terjadi pada kita semua, semua bencana dan musibah yang kita alami saat ini disebabkan karena kita tidak peduli pada orang lain, alam dan ajaran-ajaran agama kita sendiri. Kita senantiasa disibukkan dengan ego dan nafsu kita sendiri. Al-Qur’an mengatakan :

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. “ (QS al-Anfal [8] ayat 25)

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar