jump to navigation

Zikir : Membersihkan Ruang “Aku” untuk Dia Selasa, 19 Mei, 2009

Posted by Quito Riantori in Artikel, Bilik Renungan, Tasawwuf.
trackback

flowers2

Kebanyakan manusia itu

Seperti orang-orang yang masuk

ke dalam pasar

Hanyut dalam keramaian

Terserap dalam kerumunan

Tersihir aneka barang dagangan


Kebanyakan manusia itu

kehilangan kesadaran insaninya

tenggelam dalam lalai

lupa tujuan semula

“Aku ke sini mau apa?”

Selama berabad-abad, kaum Sufi bekerja keras mengembangkan praktik demi mengintesifkan Zikrullah (Berzikir kepada Allah).

Adapun tujuan  Zikrullah adalah agar mereka dapat senantiasa tenggelam dalam ingatan kepada-Nya, seraya melupakan nafs atau ego.

Banyak orang berzikir, namun Aku (ego)-nya makin membesar. Makin banyak zikirnya, makin besar Aku-nya, sampai-sampai Aku-nya menjadi “Tuhan” atau berhala yang disembahnya.

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hasrat keinginannya sebagai tuhannya?” (QS Al-Jaatsiyah [45] : 23)

Ketika kita berzikir kepada Allah Swt, kita bukan terserap dalam ke-Agungan-Nya, tetapi malah terserap dalam ke-Aku-an kita, lenyap dalam hiruk-pikuk dunia, terseret oleh arus kebanggaan semu, dan terjebak dalam gaflah (kelalaian).

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,

orang-orang yang lalai dari shalatnya, [QS 107:4-5]

Kita maklum bahwa tujuan shalat adalah untuk mengingat-Nya 2], untuk zikrullah, tapi kita menjadikan shalat kita sekadar rutinitas, style, atau bahkan agar orang yang melihat kita menghormati dan menganggap kita sebagai orang shalih.

Karena itulah zikrullah mesti disertakan dengan kesadaran ‘ubudiyyah’, kesadaran kehambaan, kesadaran bahwa sang pezikir hanyalah seorang hamba-Nya yang lemah, faqir dan bergantung penuh kepada Yang Maha Rahman.

Untuk mendapatkan kesadaran seperti ini tidaklah mudah, namun bukan pula hal yang mustahil. Kerja keras (Jihad al-Nafs) menjadi bagian penting yang tak terpisahkan untuk mencapai kondisi tersebut.

Selain kerja keras, kontinyunitas (istiqamah) juga menjadi syarat yang tidak bisa diabaikan.

Keadaan kita dan kebanyakan manusia sebenarnya bisa digambarkan seperti dibawah ini :

Bayangkan Anda masuk ke dalam mobil Anda, dan mengendarainya menuju super-market, atau department store untuk membeli sesuatu yang Anda butuhkan. Tetapi ketika Anda masuk ke super-market, Anda lupa apa tujuan Anda semula. Anda menjadi sibuk, terpesona, terpikat, dan bahkan tersihir oleh semua barang-barang yang Anda lihat di sekeliling Anda. Anda terbawa oleh gelombang keramaian, kerumunan banyak orang, mengikuti apa yang dilakukan mereka…

Namun tiba-tiba saja Anda merasakan suatu kesunyian, dan Anda mulai tersadarkan, merasakan kembali keberadaan Anda dan mempertanyakan, “Aku mau ngapain ya di sini?”.

Kerumunan banyak orang di sekeliling Anda yang asyik-masyuk dalam sebuah ‘permainan’ yang sedang dimainkan, hampir-hampir tidak bisa dihentikan, dan bahkan mereka lupa ‘Apa yang membawa mereka ke tempat ini.’

Pertanyaan seperti ini pun hanya muncul dalam kepala/hati orang-orang yang mempunyai titik zikir yang samar-samar. Dan tidak mudah dijawab oleh mereka yang terkondisikan oleh keadaan yang sedemikian menghanyutkan.”

Rumi bersyair :

Seseorang bertanya :

“Apakah Jalan (Sufi) itu?”

Lalu kuberkata :

“Jalan (Sufi) ini adalah meninggalkan

keinginan-keinginan.

Wahai Pecinta (Tuhan) Yang Maha Memiliki

Kerajaan! Ketahuilah bahwa jalanmu

adalah mencari ridha Tuhan.

Manakala kau mencari ridha-Nya

dan ingin memenuhi kehendak-Nya,

maka memenuhi hasratmu sendiri

adalah terlarang.”

[Diwan i Syams : 374-376]

Manusia diciptakan sebagai makhluk multidimensi dengan tingkat spiritual yang berbeda. Namun Tuhan Yang Maha Rahman tidak melihat perbedaan ini. Dia hanya melihat keikhlasan niat kita dan sejauh mana masing-masing diri kita  mengoptimalkan perjuangan menaklukan ego dengan tingkatan yang kita miliki masing-masing.

Laa hawla wa laa quwwata illa billah

(Bersambung)

Komentar»

1. Jayadi Gusti - Selasa, 19 Mei, 2009

Dzikir itu ibarat obat. Ia tidak mujarab, bila tidak disertai berpantang. Seperti seorang berpenyakit jantung, bila ia minum obat yang diresepkan, tetapi tidak mengindahkan berpantang dari pola hidup/makan yang disarankan oleh ahli gizi, percuma. Karena itu ketika kita hendak bersih dari penyakit, misalnya “kabad” (terdominasi oleh selain Allah), Allah menyuruh kita membebaskan perbudakan, memberi makan anak yatim, dan sebagainya yang merupakan obat yang harus dilakukan, disertai dengan takut kepada Allah dan Hari Kemudian, yang merupakan kunci kita bisa berpantang dari memperturutkan syahwat..

2. Rindu - Rabu, 20 Mei, 2009

Diam ku adalah dzikir … ucapanku adalah dakwah [arifin ilham]


Tinggalkan komentar